RSS

Tawa

           Kian tergelak,  tertawa terbahak - bahak hampir terjungkal ke belakang dari tempat duduknya. Aku hanya bisa ikut tertawa memandangi wajahnya yang tertawa bahagia tanpa beban.  Betapa aku menyayanginya. 

      Aku takkan punya kekuatan dan semangat tanpa melihat senyumnya, tawanya, wajahnya yang penuh cahaya kebahagian. Tak jarang aku menangis dan segera berhenti ketika mendengar Kian tertawa. Suara tawanya membawa damai di hatiku.  Betapa aku mencintainya.  Malaikatku.  Sumber kebahagiaanku.


*************


          Aku terbangun dari tidur. Mimpiku sangat menegangkan dan aku tidak bisa kembali tidur. Terduduk diam di atas tempat tidur, aku mulai terisak. Masih terasa segar mimpi itu dalam benakku, terasa nyata, bahkan sangat nyata. 

          Seorang wanita berteriak dan terus memanggil namaku.  Aku menoleh ke belakang dan wanita itu berlari ke arahku. Ia mendorongku hingga aku terjatuh tak sadarkan diri. Kemudian aku tersentak bangun dari mimpi. Aku semakin tak dapat berhenti menangis. 

          Aku beranjak keluar kamar untuk mengambil air minum, berusaha menenangkan diri. Kulihat Ayah tertidur di ruang keluarga yang gelap dengan TV yang dibiarkan menyala.

          Ah, sungguh ingin aku membangunkannya dan menyuruh ia tidur di kamar. Tapi aku tak tega.  Kupandangi wajahnya yang lelah, Ayah juga sudah sulit tidur berhari-hari sama sepertiku. Melihatnya demikian, mataku mukai berkaca-kaca. Aku akan membangunkannya jika aku menangis. Lebih baik aku menangis di tempat lain. Kuputuskan untuk menyelinap ke kamar Ayah setelah mematikan TV yang menyala tanpa siaran itu.

          Kubuka perlahan pintu kamar Ayah dan kupandangi ruangan gelap itu lekat-lekat. Mataku mulai dapat menyesuaikan diri dengan kurangnya cahaya. Aku berjalan menuju lemari pakaian dan membuka sebuah pintu lemari, berusaha tanpa suara, untuk mengambil satu potong pakaian yang dapat kujangkau. Kupeluk erat pakaian itu dan sungguh terasa hangat. Wangi harum tubuhnya masih tersisa dan aku kembali menangis. 

          Kali ini aku tak kuasa membendung duka itu dan menangis tersedu - sedu. Kembali teringat betapa nyata dan mengerikannya mimpi itu, semakin erat kupeluk pakaian itu sambil menangis tersedu-sedu. 

           "Kian!"

          Aku terperanjat mendengar suara dan melihat ruangan yang seketika telah menjadi terang. Aku berlari kepada Ayah dan memeluk kakinya dengan erat. Ayah menggendongku kembali ke tempat tidur dan menemaniku berharap aku bisa tidur. Tapi aku sudah tidak bisa tidur karena menangis. 

          "Ayah!" Kupanggil ia pelan. 

          Ayah tak menjawab, ia hanya menatapku lembut siap mendengarkan. 

          "Apakah Ibu bahagia?"

          Ayah masih terdiam tak menjawab. Aku menatapnya penuh harap. Kami terdiam beberapa saat dan ia menghela nafasnya. Aku rasa tidak ada jawaban untuk pertanyaanku. Kulihat sinar matanya mulai pudar dan matanya mulai berkaca-kaca. Aku tahu ia menahan diri untuk tidak menangis. 

          "Kian." Panggilnya lembut. "Ibu tidak bahagia sekarang", lanjutnya dengan mata yang semakin merah. 

          "Kenapa? Kenapa Ibu tidak bahagia?" Aku kembali terisak, tidak puas dengan jawaban Ayah. 

          Ayah membelaiku lembut dan melanjutkan, "Ibu tidak bahagia sekarang karena selalu melihat Kian menangis setiap malam."

          Mendengar itu, aku semakin menangis dengan kencang dan memeluk Ayah dengan erat. "Aku rindu Ibu, aku rindu Ibu."

          "Ayah juga merindukan Ibu. Selalu. Tapi berjanjilah bahwa Kian harus selalu tersenyum dan bahagia mulai dari sekarang karena hanya itu yang membuat Ibu bahagia. Ibu pergi agar Kian dapat selalu tertawa bahagia."

        Ayah memelukku erat. Kami menangis bersama hingga aku terbangun di pagi hari. Secarik kertas diletakkan dengan rapi di atas meja di samping tempat tidurku. Ku buka lipatan kertas itu dan kulihat tulisan Ibu. Tanggal 16 Juli 2012, saat aku berusia 5 tahun.

Hari ini hari pertama Kian masuk sekolah. Tak terasa ia sudah memasuki TK Kecil. Ia terlihat tampan menggunakan seragamnya.

Ia tak pernah berhenti melompat karena girang. Menggoyang-goyangkan tanganku yang menggandengnya karena senang.

Ketika aku mendudukannya di bangku dan meninggalkannya di kelas untuk menunggunya di luar, ia mulai mencariku dan matanya mulai memerah.  Seketika itu juga ia menangis dengan kencang memanggil aku. Aku panik dan segera berlari ke tempat duduknya. Memeluknya dan menenangkannya.

Kulihat ia mulai tenang karena tahu aku ada di dekatnya. Maka aku tersenyum kepadanya sambil membelai kepalanya dan berbisik, "Jangan takut sayangku, Ibu ada di sini, kamu tidak akan pernah kehilangan Ibu."

Aku menunjuk dadanya, berusaha mengatakan bahwa aku ada di hatinya. Selalu. Seperti Ia selalu ada di hatiku.

Ia mulai tersenyum dan mengikuti sekolahnya dengan gembira.

Melihat bahagianya adalah bahagiaku.

             Aku kembali merebahkan badanku, memegang erat secarik kertas tulisan Ibu sambil memeluk pakaiannya. Aku tak lagi menangis namun hanya menatap kosong pemandangan kamarku. 

          Sudah 6 bulan berlalu sejak kepergian Ibu. Ia adalah wanita yang mencintaiku dan merelakan nyawanya demi menyelamatkanku. Ia berteriak memanggil namaku, berlari dan mendorongku, menghadang sebuah mobil yang tidak berhasil berhenti dan akan menabrakku ketika aku ingin mengambil layangan putus yang terjatuh di tengah jalan.

          Ibu tak selamat dari kecelakaan itu dan aku terdorong hingga kepalaku terbentur trotoar tak sadarkan diri. Yang aku tahu setelah aku bangun adalah dunia tak lagi sama. Tak lagi sama tanpa Ibu. Kenyataan itu selalu mengusik malam melalui mimpi. Ayah selalu menemaniku hingga aku tertidur untuk memastikan aku tidak menyalahkan diri sendiri karena kehilangan Ibu.

          Tapi kini aku sadar, Ibu selalu ada dalam hatiku dan aku akan berhenti menangis untuk membuat Ibu bahagia. Aku akan tumbuh dengan kebahagiaan untuk Ibu dan Ayah.