Krycilla
berjalan dengan teruburu-buru sambil melihat jam tangannya. Sesekali ia
berlari kecil untuk mempercepat langkahnya.Wajahnya dipenuhi dengan
penyesalan yang bercampur dengan rasa cemas.
Ugh, ini gawat, gumamnya dalam hati. Ia baru menuruni tangga halte bus Transjakarta dan memasuki sebuah gedung perkantoran. Sambil berjalan, Cilla, begitu orang-orang memanggil namanya, mulai mencoba mengingat apa yang ia lakukan semalam sehingga ia bisa terlambat. Dia tidur jam 11 malam, termasuk cepat untuk pola tidur orang Jakarta, pikirnya. Satu hal yang harus ia akui adalah tidurnya memang tidak nyenyak. Selalu tidak nyenyak atau tepatnya tidak pernah nyenyak. Inilah yang membuatku terlambat, gerutu Cilla.
Setiap
pagi, energinya harus terkuras dengan perlawanan kecil dari tubuhnya
yang enggan bangun dan beranjak dari tempat tidur. Seandainya ia boleh
memilih untuk tetap berbaring di tempat tidur pasti dia akan sangat
bahagia.
Cilla kini segera menaiki lift yang baru saja terbuka. Ia berusaha menarik nafas dalam-dalam tanpa mengundang perhatian sekelilingnya. Tetap tidak membuatnya lega memang, tapi setidaknya membantu mengurangi ketegangan. Dengan berat hati, ia melangkahkan kakinya keluar dari lift.
"Cilla, kok telat? Kamu tadi naik busway? Lama ya nunggunya?" Cilla baru meletakkan tasnya di meja dan Fina telah mencecarnya dengan pertanyaan.
"Hahaha... Iya nih, tadi gue nunggu busway-nya lama banget deh."
Bagaimanapun, ia berusaha untuk terlihat ceria. Sekuat mungkin menutupi perasaannya. Mereka tidak perlu tahu. Lagipula kalaupun mereka tahu, mereka tidak akan mengerti. Aku sendiripun tidak mengerti, gumamnya sambil menarik nafas dan memejamkan mata.
"Lo udah sarapan belum? Kalo belum, titip OB aja biar bisa makan di sini. Udah siang La, soalnya." saran Fina.
"Belum siy, tapi gampanglah. Ga terlalu berasa laper juga soalnya. Nanti kalo gue laper, gue tinggal titip." Cilla segera menempelkan earphone di telinganya sebagai tanda dia tidak ingin diganggu.
Sambil menatap layar laptopnya, tangan Cilla sibuk mengeklak-ngeklik macam-macam folder. Matanya memang menatap layar laptop, namun tatapannya kosong memikirkan banyak hal.
Ada banyak pertanyaan yang melintas di pikirannya:
- Kenapa dia tidak suka dengan apa yang ia lakukan sekarang?
- Kenapa tidurnya tidak pernah nyenyak?
- Kenapa ia selalu khawatir dan ketakutan bila hari-harinya akan memasuki hari kerja?
-
Kenapa ia tidak pernah bisa menikmati waktu akhir pekannya meskipun
yang ia lakukan di akhir pekan adalah hal yang sangat ia sukai?
- Kenapa ia merasa sangat berat dan malas untuk melakukan banyak hal?
- Kenapa ia merasa tidak punya waktu untuk melakukan apapun?
- Kenapa semuanya terasa seperti neraka?
- Kenapa ia tidak bahagia akan hidupnya sekarang?
- Kenapa ia merasa kebingungan untuk memutuskan sesuatu atas hidupnya?
- Kenapa ia merasa tidak mengenal dirinya sekarang?
- Kenapa ia sangat tidak menyukai dirinya sekarang?
Semua bercampur aduk dalam benaknya dan membuatnya pusing. Tiba-tiba ia bangkit dari duduknya hingga membuat Fina terkejut. Sebelum Fina sempat mengajukan pertanyaan, Cilla segera melangkahkan kakinya keluar ruangan. Tempat favoritnya di saat merasa muak adalah toilet atau lantai paling atas di gedung kantornya. Karena toilet biasanya penuh di pagi hari, maka ia memutuskan untuk naik ke lantai paling atas saja.
Salah satu hal yang menyenangkan dari lantai paling atas adalah lantai itu terbuka. Ia bisa melihat pemandangan gedung-gedung tinggi di sekitarnya dan sangat sedikit orang yang mengunjungi tempat itu. Ia merapatkan tubuhnya ke tembok setinggi 145 cm yang mengelilingi lantai itu. Dipandanginya gedung-gedung di depannya yang berjajar dengan rapi dan dirancang dengan indah. Raut wajahnya mulai mengerut dan matanya mulai sesekali terpejam. Ia mulai menangis tersedu-sedu. Menangis atas apa yang ia pikirkan. Menagisi dirinya yang terasa begitu hina dan jelek. Rasanya ia ingin terus berada di sana dan menangis. Membiarkan dirinya berlarut di dalam duka.
Sayang
sekali ia tidak bisa berlama-lama. Fina akan kebingungan mencarinya
jika ia tidak segera kembali. Cilla segera mengusap air matanya dan
menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ditepuknya pipinya
untuk mengembalikan ekspresi ceria, walaupun apa yang ia lakukan tidak
memberikan efek apapun pada wajahnya.
***
"La, kamu dipanggil sama Pak Rachmat. Beliau ada di ruangan" kata Fina setelah akhirnya menemukan Cilla.
"Oh gitu. Oke, gue segera ke ruangannya kalo gitu. Thanks ya Fin." jawab Cilla tanpa basi-basi.
Cilla
segera menuju ruangan yang berada di cubical ke 3 dari pintu masuk
kantornya. Pintu ruangannya selalu terbuka dan dinding ruangannya
terbuat dari kaca. Pak Rachmat adalah atasan Cilla. Beliau adalah orang
yang sangat baik, berwawasan luas, dan perhatian. Beliau mengajarkan
banyak hal kepada Cilla. Satu hal yang baik dari Pak Rachmat adalah
beliau tidak segan-segan untuk menegur demi kemajuan. Hal ini kadang
tidak disukai oleh Cilla bila terjadi di saat yang tidak tepat, seperti
hari ini.
"Kamu tuh kenapa sih La?" tanya Pak Rachmat sambil mengamati Cilla.
"Hmmm... Ga kenapa-kenapa kok Pak. Hmmm... Saya terkadang masih merasa bingung akan job descriptionnya Pak."
Cilla
tidak mungkin menceritakan perasaan yang sesungguhnya kepada Pak
Rachmat. Dia tidak akan mengerti. Bila kuceritakan, dia pasti salah
paham dan menilaiku jelek, ujar Cilla meratap dalam hati.
Meskipun demikian, ia berusaha menjelaskan perasaannya tanpa membuat Pak Rachmat salah paham. Hanya saja, tampaknya usahanya itu sia-sia. Penilaian Pak Rachmat terhadap dirinya kini sudah buruk.
Meskipun demikian, ia berusaha menjelaskan perasaannya tanpa membuat Pak Rachmat salah paham. Hanya saja, tampaknya usahanya itu sia-sia. Penilaian Pak Rachmat terhadap dirinya kini sudah buruk.
"Selama
ini khan kamu udah ikut training, kok masih bingung sama job
descriptionnya? Kamu ini sebenernya kenapa La?" Alasan yang diberikan
Cilla tidak masuk akal menurutnya.
"Hmmm... Iya Pak, saya masih kesulitan memahaminya. Saya..."
"Duh,
Cilla. Kamu ga bisa begini terus. Kamu sekarang keliatan ga fokus. Kamu
harus berusaha lebih keras dari yang lain untuk ngejar ketinggalan
kamu. Tolong usaha lebih keras lagi. Jangan buat saya ngerasa salah dan
menyesal udah merekrut kamu."
Baiklah,
kalimat terakhir Pak Rachmat itu sangat menusuk. Setajam pisau yang
sekarang menyayat hati Cilla. Ingin sekali dia menangis lagi saat itu
juga. Tapi tidak mungkin di depan Pak Rachmat. Dirinya akan kelihatan
bodoh, manja, dan cengeng.
"Iya, baik Pak!" Cilla menjawab dengan pelan.
Wajar
saja Pak Rachmat kesal, pikirnya. Sebelumnya, beliau sudah menegurku
untuk hal yang sama dan tidak ada perubahan. Memang performance-ku
sangat kurang, Cilla kembali meratap. Daftar pertanyaannya kini kembali
bertambah. Ia kembali merenung dalam hati dan memenuhi semua ruang yang
masih tersisa di otaknya dengan pertanyaan. Dirinya semakin terpuruk.
***
"Kenapa semua yang gue lakuin selalu gagal padahal gue udah usaha?
- Kenapa gue ga bisa membuat Pak Rachmat bangga?
- Kenapa gue ga bisa mengerti apa yang diinginkan oleh Pak Rachmat?
- Kenapa gue ga seperti teman-teman yang lain di tim gue?
- Kenapa gue begitu tertekan menjalani ini sedangkan orang lain ga?
- Kenapa gue ga bisa menyenangkan hati orang yang ada di sekitar gue?
- Kenapa dan kenapa?"
"AAAAAAAAAAAAA.......
Rasanya pengen teriak. Kalo cuman di dalam hati aja ga cukup. gue
pengen istirahat." kilah Cilla sambil merebahkan tubuhnya di tempat
tidur.
"Yah istirahatlah!" jawab Kinan, sahabat Cilla singkat.
"Gimana mungkin? Gue disuruh kerja lebih keras dari yang lain. Mana ada waktu untuk istirahat?" Cilla menjawab dengan cemberut.
"Yah, ambil waktu cutilah. Lo butuh lagi. Kalo lo ga istirahat, kondisi lo akan lebih gawat."
"Menurut
lo gue kenapa ya Nan? Lo kenal gue khan udah lama. Ini ga kayak diri
gue yang dulu. Gue kangen deh sama diri gue yang dulu." Cilla menatap
Kinan dengan mata berkaca-kaca berharap mendapatkan jawaban. Karena
otaknya sudah lelah untuk berpikir mencari jawaban.
Kinan
mungkin tahu jawabannya, tapi dia memilih untuk tidak mengatakannya. Ia
tidak ingin mengambil keputusan atas hidup sahabatnya. Bagaimanapun
jawabannya hanya asumsi. Cilla pasti dan haruslah lebih mengenal dirinya
sendiri. Harusnya Cilla lebih tahu jawaban atas pertanyaannya.
"Hmmm..
Mungkin gue tau. Tapi.. Hmmm.. Bukankah lo lebih baik ngambil sedikit
waktu untuk menenangkan diri dan mencari tau jawabannya sendiri?
Istirahat beberapa hari. Kalo memang musti bohong, ya lakuin aja. Memang
dosa sih, tapi khan memang lo lagi sakit secara mental. Haha..." Kinan
kini tertawa melihat ekspresi sahabatnya yang telah mendelik dengan
cemberut.
"Sakit mental? Gue berasa kayak orang gila."
"Yah,
akan menuju ke sana kalo ga cepet-cepet diobatin. Makanya buruan ambil
waktu, jangan tunda-tunda lagi. Lebih baik, lo bolos or izin or apalah
sekarang daripada nanti lebih gaswat lagi. Ya udah, gue pulang dulu.
Ngantuk gue." kata Kinan sambil beranjak dari tempat tidur Cilla.
"Yah, nginep di sini aja. Temenin gue Nan. Ayolah." rengek Cilla.
"Haiss..
Ga ah. Gue ga bawa baju ganti buat besok. Trus kalo gue nginep di sini,
pasti gue sangat kurang tidur karena lo khan lagi susah tidur.
Bisa-bisa gue begadang sampe subuh lagi. Besok gue ada project penting
neng. Butuh asupan tenaga yang penuh. Ya udah, bye. Gue pulang ya."
Kinan menepuk bahu Cilla untuk menenangkannya sekaligus salam pamit.
***
Kebiasaan di pagi hari Cilla adalah membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Membalikkan tubuhnya ke samping kiri dan kembali memejamkan mata hingga dirinya kembali tertidur. Inilah yang membuatnya selalu terlambat akhir-akhir ini. Biasanya ia akan bangun terburu-buru dan segera mengambil handuk. Terburu-buru menuju kamar mandi sambil bergumam gawat.. gawat.. ini gawat..
Hari
ini tampaknya berbeda. Setelah menatap langit-langit, ia membalikkan
tubuhnya ke kanan dan mengambil Blackberry-nya. Melihat setiap message
yang masuk ke BBM-nya, membalas message yang perlu kemudian meletakkan
kembali Blackberry-nya.
Ia
kembali memejamkan mata namun tidak tertidur. Ia berpikir, masih enggan
untuk bangun. Setelah memikirkan dengan matang apa yang dikatankan
Kinan seminggu yang lalu, ia akhirnya memutuskan untuk beristirahat.
Semalam, ia sudah mengabarkan ke Pak Rachmat bahwa ia sedang sakit dan
tidak dapat masuk kantor hari ini. Pak Rachmat hanya mengiyakan dan
menyuruhnya beristirahat.
Meskipun
ia kini punya waktu, ia tetap tidak bahagia. Ia sangat ketakutan dan
khawatir. Bagaimana kalau setelah istirahat ini, ia tetap tidak menjadi
lebih baik? Bagaimana kalau ia tetap tidak menemukan jawaban atas semua
pertanyaannya? Ia memejamkan matanya rapat-rapat berusaha meredam
ketakutannya.
Nananana... .
Terdengar lagu "Payphone - Marron 5" mengalun indah. Blackberry Cilla
sudah berbunyi dengan riang. Cilla enggan mengangkatnya karena ini hari
istirahatnya, dia tidak ingin diganggu.
Nananana... .
Ringtone itu berbunyi kembali. Cilla memang tidak dibiarkan untuk
berdiam diri. Ia mengambil Blackberry-nya dengan kesal. Dilihatnya siapa
orang yang tidak tahu diri yang mengganggunya di pagi hari itu.
Disambutnya Kinan, masih dengan nada kesal.
"Aloha. Gimana? Jadi libur lo hari ini?" Kinan menyapanya dengan riang.
"Halo! Iya, jadi libur." Cilla menjawab dengan jutek.
"Ya
ampun sapaan lo pagi ini jelek amat. Emang lo butuh istirahat, kalo ga
bakal parah tuh sakit mental lo. Hahaha." Ledek Kinan.
"Dasar. Kalo lo telepon gue pagi-pagi gini cuman buat mencela gue, gue tutup aja nih." Ancam Cilla kesal.
"Hahaha..
Iya gue tau, gue ngeganggu lo pagi-pagi ini. Gue cuman pengen nanya apa
rencana lo hari ini. Istirahat lo itu bukan hanya tidur-tiduran siy
sebaiknya."
"No
Plan. Gue belum tau mau ngapain hari ini. Gue baru berencana untuk
tidur-tiduran sepanjang hari. Tapi karena lo bilang begitu, mungkin gue
harus ubah rencana. Makan sepanjang hari mungkin?" sahut Cilla dengan
nada melunak.
"Gelo! Mentang-mentang kemarin kurusan karena stress, bukan berarti lo bisa makan sepuas lo, apalagi sepanjang hari. Hahaha..."
"Hmmm..
Tapi kalo pun lo mau tidur sepanjang hari, asalkan itu bisa membuat lo
lebih baik yah lakuin aja. Ayo belajar untuk ga buat keputusan
berdasarkan pendapat orang lain." Kinan mulai menjadi serius.
"Gue tau kok. Gue juga ga mungkin tidur-tiduran sepanjang hari ini. Gue cuman khawatir, gue tetep ga membaik Nan."
"Hmmm..
Mungkin gue bisa kasih saran or clue. Coba kerjain apa yang lo bilang
sempet tertunda. Mungkin akan sedikit meringankan dan membuat lega.
Sebenernya siy gue pengen ngasih saran lain. Kalo udah kelar nyelesein
yang tertunda itu, dateng deh ke kenalan gue. Dia psikolog..."
"Duh, gue ga mau ah. Kayak orang gila beneran deh gue jadinya."
"Ya
ampun, dengerin dulu sampai selesai. Dia punya background psikologi.
Gue menyarankan lo nemuin dia untuk konsultasi, sharing, cerita, or
apalah. Mungkin itu bisa ngebantu lo nemuin jawaban, secara dia khan
psikolog yang cukup berpengalaman. Mumpung gratis loh."
"Oh ya? Hmmm.." Cilla masih ragu dengan saran Kinan.
"Yah, kalo ragu, yah ga apa-apa La. Pikirin aja dulu. It's just an option. Maybe it can help you, right? Who knows?"
"Yah, yah.. Akan gue pikirkan."
"Good then. Btw, gue tutup dulu ya, nanti gue telepon lagi buat kepo-kepo. Hahaha..."
"Yah, bye. Met kerja deh. Thank ya, Nan."
Cilla
menutup teleponnya dengan bersyukur. Yah dia sangat bersyukur memiliki
sahabat seperti Kinan yang dewasa, bijak, dan positif. Tidak jarang,
Cilla membandingkan dirinya dengan Kinan dan ia akan merasa terpuruk
setelahnya. Dirinya sangat buruk sedangkan Kinan adalah pribadi yang
luar biasa. Huh, Cilla menghela nafas dan beranjak dari tempat tidurnya.
Menyelesaikan apa yang telah dimulai dan tertunda? Hmmm.. Baiklah,
gumamnya sedikit memiliki harapan.
***
Satu
hari kerja berakhir seakan setahun lamanya, sedangkan satu hari libur
berakhir seakan semenit lamanya. Cepat sekali waktu berjalan dan hari
ini sebentar lagi akan berganti. Cilla telah berhasil merapikan
kamarnya, memasak, dan meluangkan waktu untuk mengobrol dengan mbok-nya.
Mulai ada kelegaan di dalam hatinya karena berhasil memenuhi hal yang
tertunda selama ini. Namun tetap saja masih ada ketakutan dalam hatinya.
Cilla
masih mempertimbangkan usulan Kinan. Bagaimanapun ia penasaran. Ia
ingin menemukan jawaban atas semua pertanyaannya. Setelah berusaha keras
sendiri, harus diakui bahwa ia butuh bantuan untuk berpikir. Tapi..
selalu ada kata tapi. Ia takut dirinya tetap tidak menemukan jawabannya.
Ada perasaan enggan, antara iya dan tidak.
Ia
kembali memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Selalu ada
risiko dalam setiap keputusan. Mungkin saran Kinan membantu. Kalo tidak
dicoba tidak akan tahu. Tenang.. Tenang.. Besok aku akan menemui kenalan
Kinan, gumam Cilla berusaha menegaskan dan menguatkan dirinya.
***
"Coba cari aja, tempatnya ada di lantai dua. Biasanya khan kalo kita pertemuan di lantai 1 atau 3."
"Oh gitu. Ya udah gue coba deh ya."
"Iya,
coba aja. Nama kenalan gue tuh Ibu Sonya. Dia orangnya agak tegas, tapi
tenang. Dia terbuka kok untuk dengerin. Jadi jangan takut untuk cerita.
Semakin lo cerita detail apa yang lo rasain, dia akan semakin mudah
buat bantu lo cari akar permasalahannya khan."
Cilla
sedang mengingat kembali percakapannya dengan Kinan tadi pagi. Betapa
Kinan mencoba untuk menguatkannya. Tadi pagi dirinya hampir memutuskan
untuk tidak jadi pergi. Maka itu sekarang sudah sangat siang untuk
bertemu dengan kenalan Kinan. Cilla kelihatan asyik mendengarkan musik
melalui earphone-nya sambil bergelantungan pada pegangan di bus
Transjakarta, padahal pikirannya berkutat dengan masalah yang tidak
kelihatan sumbernya.
Ia
sudah hampir sampai di area ruko yang sudah biasa dikunjunginya. Ia dan
Kinan mengikuti suatu kegiatan anak muda yang secara rutin mengadakan
kunjungan kepada orang-orang yang berkekurangan. Setiap minggu Cilla,
Kinan, dan teman-teman lainnya akan berkumpul di sebuah ruko yang
disediakan khusus oleh para donatur. Ruko itu adalah tempat berkumpul
setiap anak muda dengan bermacam-macam aktivitas.
Cilla
disambut oleh Pak Indra yang biasa disapanya setiap kali ia datang.
Kemudian ia segera menapaki tangga menuju ke lantai 2, menuju tempat
yang ditunjukkan oleh Kinan. Selama ini Cilla tidak mengetahui fungsi
dari lantai 2 tersebut. Di sana terdapat dua ruangan sedang dan 1
ruangan besar. Pada pintu dari salah satu ruangan sedang, terpampang
tulisan "Badan Konseling Anak Muda". Seperti zaman kuliah dulu. Di
kampus juga ada badan konseling, guman Cilla.
Cilla
masuk ke ruangan tersebut dan disambut oleh seorang wanita paruh baya.
Ia menanyakan tujuan kedatangan Cilla. Setelah mengisi form data diri
dan menyelesaikan proses administrasi, ia diminta untuk menunggu
sejenak. Tak lama seorang wanita memintanya untuk masuk ke dalam ruangan
yang lebih kecil.
"Halo, apa kabar. Namaku Sonya." Wanita ini menyambut dengan senyum yang ramah dan mengulurkan tangannya untuk menjabat Cilla.
"Oh, halo Bu. Aku Krycilla." Cilla membalas uluran tangan Bu Sonya.
"Salam kenal Krycilla! Nama kamu bagus. Ayo silahkan duduk."
"Oh iya Bu. Terima kasih." balas Cilla sambil tersenyum janggal.
"Jangan
takut dan ragu. Kamu bisa cerita dengan bebas apapun yang kamu rasakan
di sini. Kira-kira apa nih yang kamu rasakan sekarang?"
"Hmmm..
Aku.. Aku juga bingung. Hmmm.. Ada banyak pertanyaan dan aku ga tau apa
jawabannya." Cilla memulai ceritanya. Bu Sonya hanya diam, mendengar
dengan seksama.
"Hmmm.."
Cilla diliputi kebimbangan untuk memulai ceritanya. Dia sendiri merasa enggan untuk menceritakan masalahnya. Dia merasa selama ini sudah terlalu banyak cerita mengenai apa yang dia alami. Semakin banyak diceritakan, banyak orang akan merasa bahwa dirinya sangat lemah. Dia tidak ingin dikasihani.
Keheningan terjadi di tengah-tengah konsultasi itu. Cilla menundukkan wajahnya sambil berkutat dengan pikirannya. Tangannya sibuk menggulung-gulung tali tasnya. Bu Sonya hanya diam dan memperhatikan. Dia tidak tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kelembutan.
"Cerita aja, ga apa-apa kok. Jangan takut. Mungkin pelan-pelan akan menemukan solusinya." Kali ini Bu Sonya membuka pembicaraan sambil tersenyum lembut setelah Cilla hanya terdiam selama 1 jam.
"Hmmm..." Cilla masih kesulitan untuk memulai. Namun ia memang harus cerita, kalau tidak ia hanya akan menghabiskan waktu tanpa hasil. Ia memberanikan diri untuk memulai ceritanya, "Aku merasa diriku jelek sekali. Aku merasa ga berguna, ga bisa melakukan yang terbaik. Aku ga ngerti sama kerjaanku di kantor. Padahal seharusnya aku ngerti. Aku bingung dan ga tau harus ngelakuin apa. Bila dibandingkan dengan teman-teman lain di kantorku, aku bener-bener ga bisa apa-apa. Ga bisa diandalkan oleh atasan. Aku merasa sedih akan diriku sendiri. Benar-benar jelek. Kayaknya ga ada yang bagus dari diriku."
Cilla diliputi kebimbangan untuk memulai ceritanya. Dia sendiri merasa enggan untuk menceritakan masalahnya. Dia merasa selama ini sudah terlalu banyak cerita mengenai apa yang dia alami. Semakin banyak diceritakan, banyak orang akan merasa bahwa dirinya sangat lemah. Dia tidak ingin dikasihani.
Keheningan terjadi di tengah-tengah konsultasi itu. Cilla menundukkan wajahnya sambil berkutat dengan pikirannya. Tangannya sibuk menggulung-gulung tali tasnya. Bu Sonya hanya diam dan memperhatikan. Dia tidak tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kelembutan.
"Cerita aja, ga apa-apa kok. Jangan takut. Mungkin pelan-pelan akan menemukan solusinya." Kali ini Bu Sonya membuka pembicaraan sambil tersenyum lembut setelah Cilla hanya terdiam selama 1 jam.
"Hmmm..." Cilla masih kesulitan untuk memulai. Namun ia memang harus cerita, kalau tidak ia hanya akan menghabiskan waktu tanpa hasil. Ia memberanikan diri untuk memulai ceritanya, "Aku merasa diriku jelek sekali. Aku merasa ga berguna, ga bisa melakukan yang terbaik. Aku ga ngerti sama kerjaanku di kantor. Padahal seharusnya aku ngerti. Aku bingung dan ga tau harus ngelakuin apa. Bila dibandingkan dengan teman-teman lain di kantorku, aku bener-bener ga bisa apa-apa. Ga bisa diandalkan oleh atasan. Aku merasa sedih akan diriku sendiri. Benar-benar jelek. Kayaknya ga ada yang bagus dari diriku."
Cilla
terdiam. Bingung harus mengatakan apa lagi. Hanya itu yang dia tahu
tentang apa yang dia rasakan dan alami. Melihat Cilla yang terdiam dan
tertunduk, Bu Sonya merasa dirinya perlu memberikan respon.
"Hmmm. Sebelumnya apakah kamu pernah merasakan ini?"
"Sebelumnya? Hmmm..." Cilla berusaha memutar otak, mengobrak-abrik memorinya. Berusaha mengingat masa-masa di kampus.
"Mungkin
pernah, tapi tuntutan di dunia kerja dan dunia kampus berbeda. Dulu
waktu di kampus, ada cukup waktu untuk melengkapi diri sendiri, belajar
sendiri kalo aku tidak tahu."
"Oh, kamu belajar sendiri ya kalo di kampus? Ga tanya-tanya senior atau teman-teman yang lain gitu?"
"Iya, aku biasanya belajar sendiri. Lebih suka begitu. Aku jarang bertanya..." Cilla jadi mengingat sesuatu.
"Oh,
karena dari dulu begitu, sekarang pun kalo ga tahu aku pendam sendiri
dan berusaha cari tahu sendiri. Sedangkan waktu di dunia kerja itu
sempit, makanya jadi ketinggalan."
"Kira-kira kalo boleh tahu, kenapa kamu ngerasa males untuk bertanya dan berusaha untuk cari tahu sendiri?"
"Hmmm..." Cilla mengerutkan keningnya, merasa agak risih ditanya terlalu banyak. Ia merasa dinilai oleh Bu Sonya. Ia kembali terdiam.
Setelah merenung cukup lama, Cilla memutuskan untuk bicara. Bagaimanapun ia datang untuk meminta bantuan. Bila dia hanya berdiam diri, maka tidak akan ada pencerahan yang diperolehnya.
"Hmmm... Kenapa ya? Hmmm..." Cilla kembali harus membongkar lemari memorinya. Kali ini adalah bagian masa kecilnya.
"Hmmm...
Aku rasa karena kebiasaan dari kecil. Waktu aku kecil, Papa kadang
menjawabku dengan nada ketus seperti terasa terganggu kalo aku bertanya.
Atau terkadang orang tuaku menjawab dengan kata-kata "Ah, kamu masih
kecil, masih belum boleh tahu. Bukan urusan kamu, ini urusan orang
dewasa." Kurasa begitu. Sejak itu, aku jadi malas bertanya dan lebih
memilih untuk mencari tahu sendiri."
"Oh gitu. Papa dan mama orangnya seperti apa menurut kamu?"
"Hmmm... Papa dan mama ya? Hmmm... Mereka baik dan sayang padaku. Selalu berusaha menyediakan yang terbaik.
Cilla melihat ekspresi Bu Sonya yang tetap menatapnya dengan penuh perhatian. Cilla sadar, apa yang dia katakan tidak menjawab pertanyaan Bu Sonya. Cilla mengerutkan kening dan menundukkan kepala, merasa kesulitan untuk meneceritakan orang tuanya.
Sekali lagi ia menatap Bu Sonya dan orang yang ditatapnya masih memperhatikan Cilla dengan seksama. Beliau benar-benar sabar menunggu cerita Cilla. Sepanjang Cilla bercerita, Bu Sonya tidak pernah memberikan penilaian yang menjatuhkan. Beliau benar-benar hanya menyediakan diri untuk mendengarkan semua cerita Cilla. Cilla menyimpulkan, Bu Sonya bisa dipercaya.
"Hmmm.. Papa sangat baik untukku. Hanya saja Papa selalu memberikan nasehat yang terkadang terasa panjang dan berulang-ulang. Seakan-akan tidak percaya padaku bahwa aku mampu mengerjakan sendiri. Aku tahu, itu semua karena Papa takut aku salah mengambil langkah."
Cilla melihat ekspresi Bu Sonya yang tetap menatapnya dengan penuh perhatian. Cilla sadar, apa yang dia katakan tidak menjawab pertanyaan Bu Sonya. Cilla mengerutkan kening dan menundukkan kepala, merasa kesulitan untuk meneceritakan orang tuanya.
Sekali lagi ia menatap Bu Sonya dan orang yang ditatapnya masih memperhatikan Cilla dengan seksama. Beliau benar-benar sabar menunggu cerita Cilla. Sepanjang Cilla bercerita, Bu Sonya tidak pernah memberikan penilaian yang menjatuhkan. Beliau benar-benar hanya menyediakan diri untuk mendengarkan semua cerita Cilla. Cilla menyimpulkan, Bu Sonya bisa dipercaya.
"Hmmm.. Papa sangat baik untukku. Hanya saja Papa selalu memberikan nasehat yang terkadang terasa panjang dan berulang-ulang. Seakan-akan tidak percaya padaku bahwa aku mampu mengerjakan sendiri. Aku tahu, itu semua karena Papa takut aku salah mengambil langkah."
"Hmmm..
Mama juga mudah khawatir. Kadang terlalu berlebihan, sehingga aku pun
jadi takut untuk mengambil suatu keputusan. Bagaimanapun, mereka sangat
perfeksionis. Sangat sulit untuk menyenangkan hati mereka. Bagaimanapun
aku mencoba, aku tetap gagal dan tetap tidak bisa menyenangkan mereka.
Selalu saja ada yang salah. Kalaupun ada prestasi yang kucapai, mereka
tidak pernah memberikan pujian atau penghargaan di depanku. Bahkan
kadang mereka membandingkanku dengan teman-teman yang lain."
"Oh gitu... Lalu, hubungan kamu sama papa dan mama kamu sekarang gimana?"
"Hmmm...
Baik-baik saja. Walopun begitu, hubunganku dengan mereka sangat
harmonis. Aku tahu mereka begitu karena menyayangiku. Malahan terkadang
aku merasa tidak menjadi anak yang berbakti untuk mereka. Aku merasa
sering mengecewakan mereka."
"Mengecewakannya dalam bentuk apa Cilla, eh Cilla khan ya panggilannya?"
"Oh
iya, aku biasa dipanggil Cilla kok. Hmmm.. Aku kadang ga mengikuti
nasehat mereka. Aku tidak bijak dalam menggunakan uang, kadang aku
berbohong pada mereka. Yah begitulah."
"Oh, kamu ngerasanya begitu ya?" Kira-kira masih ada yang pengen kamu ceritain ga, mungkin masih ada yang mengganjal?"
"Hmmm.. Kayaknya siy ga ada."
"Hmmm...
Kalo denger dari cerita kamu, kayaknya tanpa sadar, pengalaman kamu di
masa kecil bersama orang tua kamu membekas dan membentuk kamu yang
sekarang. Contohnya yang soal bertanya, kamu jadi males nanya ke orang
karena takut dijutekin mungkin. Kamu ngerasa orang lain akan menanggapi
kamu begitu kalo kamu bertanya. Sayangnya apa yang kamu pikirkan kadang
bisa terjadi. Pola pikirnya begitu karena pengalaman kamu bersama dengan
orang tua yang menanggapi kamu dengan jutek ketika kamu bertanya."
Hmmm...
Cilla berusaha mencerna maksud perkataan Bu Sonya. Apakah benar begitu?
Ia berusaha kerasa kembali mengingat kenangan-kenangannya soal
pertanyaan kepada papanya. Sepertinya memang begitu ya, pikirnya. Masuk
akal sih.
"Kemudian
kamu merasa sebagai orang yang gagal dan merasa bahwa diri kamu sangat
buruk. Mungkin kamu selama ini merasa tidak pernah bisa menyenangkan
orang tua kamu karena mereka sangat perfeksionis. Apapun yang kamu
lakukan selalu jelek, gagal, dan bahkan salah. Memori itu terus terekam
dalam alam bawah sadar kamu, sehingga setiap melakukan apapun, kamu
tanpa sadar merasa bahwa apa yang kamu lakukan ini akan gagal."
Hmmm.. Cilla kembali berpikir. Sebegitunyakah? Cilla mengerutkan keningnya. Bu Sonya kembali melanjutkan.
"Kamu
merasa dirimu ga bisa diandalkan karena tidak mampu seperti yang mereka
harapkan. Orang tua kamu juga ga pernah memuji kamu di depan kamu. Ini
mengakibatkan kamu jadi tidak menerima diri sendiri. Karena sekalipun
kamu mencapai sesuatu, tidak ada pengakuan dari orang-orang terdekatmu
bahwa kamu hebat, berharga, dan luar biasa. Sehingga kamu mulai berpikir
dan akhirnya merasa bahwa kamu memang buruk."
"Sekarang
ketika kamu mulai merenung dan menyadari bahwa pengalaman masa lalu
yang membentuk diri kamu sekarang, kamu harus berdamai dengan masa lalu
kamu dan mengubah pola pikir yang sudah terbentuk. Kamu harus
sering-sering mengucapkan kata-kata positif kepada diri sendiri dan
menyakinkan diri sendiri bahwa kamu indah dan berharga." Bu Sonya
menutup percakapan hari itu dengan senyuman yang hangat.
Kini
Cilla termenung dalam perjalanan pulangnya. Apakah perasaanya lega
mengetahui bahwa kenyataan masa lalunya membuat dirinya begitu jelek
sekarang? Rasanya ingin menangis karena shock. Ah, sekali lagi perasaan
negatif. Aku harus banyak-banyak menguatkan diri dan mengucapkan
kata-kata positif, Cilla mengangguk mengiyakan pikirannya.
***
"Ya ampun, lo sakit apa La? Gimana kondisi lo sekarang, udah ke dokter khan?" Fina kembali mencecarnya dengan pertanyaan.
"Iya
nih. Kemarin-kemarin ga enak badan, jadinya gue pikir istirahat dulu.
Udah ke dokter sih. Untung segera ke dokter, jadinya penanganannya
cepet." jawab Cilla sambil tersenyum dan menggerak-gerakkan badannya
sebagai tanda ia sudah sembuh.
Mungkin
tubuhnya tidak sakit, tapi mentalnya masih sakit. Yang membuatnya
berbeda dari hari kemarin adalah ia tahu bahwa apa yang ia rasakan saat
ini merupakan tumpukan kejadian masa lalu. Yah, kejadian masa lalu yang
membentuk karakternya dan pola pikirnya sekarang. And then, mengubah
pola pikir yang terbentuk selama bertahun-tahun itu tidaklah mudah.
"Jelas
tidak mudah, tapi kamu harus berusaha untuk perubahan yang lebih baik.
Kamu pasti bisa. Maka itu harus dibantu dengan sering-sering mengucapkan
kata-kata yang positif kepada diri sendiri."
Cilla
mengenang ucapan terakhir Bu Sonya, yang menangkap sinyal protesnya
soal perubahan pola pikir. Tanggapan Bu Sonya cukup baik karena mampu
membuat Cilla tetap diam.
Hmmm...
Baiklah, aku cukup merasa lega tapi sepertinya tetap tidak merasa lebih
baik, ujarnya dalam hati. Cilla asyik berkutat dengan laptopnya yang
masih hanya ditatapnya saja. Ia masih melamun dan berpikir keras,
berusaha menimbang-nimbang pola pikirnya harus berubah menjadi seperti
apa?
"Nyok makan!" tepukan Darren membangunkan Chilla dari lamunannya.
"Ya ampun lo ngagetin gue! Makan?" Cilla menatap Darren bingung sambil mengelus-ngelus dada karena kaget.
"Ini
udah jam makan siang neng." Darren mengarahkan telunjuknya ke arah jam
dinding yang terpajang indah di dinding di sebelah meja Cilla.
"OMG, cepet banget waktu belalu." Sekarang dari kaget, Cilla menjadi panik.
"Ayo makan, laper nih." ujar Fina yang baru kembali ke mejanya.
"Yuk! Anak satu ini diajak Fin. Keasyikan kerja mpe lupa jam makan siang. Hahaha..." Darren menunjuk Cilla sambil mencela.
"Puas.. Puas.. Sana makan deh. Gue ga mau makan ah."
"Ya ampun neng. Gue becanda, jangan dianggap serius. Ngambek nih jadinya?"
"Aaaa... Darren... Sana-sana... Iya gue makan, gue nyusul."
"Ayo
ah, La. Gue, Darren, sama yang lain nunggu di depan lift ya." Fina
menyambar menghentikan keributan kecil itu karena ia sudah sangat
kelaparan.
***
Selama
perjalanan, Cilla lebih memilih berjalan paling belakang. Termenung
sambil menundukkan kepala. Masih tak habis pikir soal mengubah
pandangan. Darren yang dari tadi memperhatikan keanehannya angkat
bicara.
"Lo lagi kenapa sih La? Kok kayaknya hari banyak pikiran? Banyak kerjaan ya?"
Hmmm.. Sepertinya Anda telat, gumam Cilla. Kayaknya banyak pikirannya udah dari minggu-minggu yang lalu.
"Ga kok. Yah biasalah, lagi hectic aja." Padahal ia masih kebingungan soal job descriptionnya.
"Oh
gitu. Semangat deh kalo gitu. Jangan murung gitu ah. Btw, gue bawa buku
yang kemarin gue bilang bagus itu. Bukan buku siy, modul tepatnya. Khan
minggu lalu gue sempet ikut seminar. Lo bilang pengen pinjem khan.
Nanti ingetin gue yach."
"Oh sip, nanti gue ingetin. Gue pinjem ya.. Hahaha..."
Darren cukup senang melihat Cilla sudah kembali tertawa.
***
"Lagi ngapain lo? Gue belum sempet kepo-kepo nih." Kinan menyambar modul yang sedang dipegang oleh Cilla.
"Apa ini, modul?"
"Duh, Kinan. Balikin ah. Gue lagi mau baca."
"Ya ampun, khan gue lagi pengen denger cerita lo." Kinan mengembalikan modul yang direnggutnya dengan cemberut.
"Hahaha.. Iya, iya. Gue bingung siy mau cerita dari mana sebenernya."
"Semuanya aja. Dari lo ketemuan sama Bu Sonya. Lo cerita apa aja, trus Bu Sonya bilang apa?"
"Lo semangat banget ya kalo soal kepo-mengkepo. Ckckckck.." yang dicela hanya tersenyum puas.
"Hmmm.. Baiklah... pas gue ketemu kemarin sama Bu Sonya, yah.. bla... bla... bla..."
Cilla menceritakan panjang lebar mengenai pertemuannya dengna Bu Sonya.
"Gue
tetep ga berasa tenang Nan. Tetep aja ada perasaan takut. Gue tetep aja
masih ngerasa diri gue hina. Tau sih penyebabnya apa dan berpikir
begitu itu salah. Tapi kayaknya, yah, gue bisa ngeliat kenyataannya
emang begitu."
Kinan,
menatap Cilla lekat-lekat kemudian meletakkan tangan kanannya di bahu
kiri Cilla, "Gue bisa ngerti sih perasaan lo. Melihat kenyataan yang ada
ga sesuai dengan harapan. Sabar ya, gue sebagai sohib lo ikut
prihatin."
Kinan
mengangguk sambil sesekali menepuk bahu Cilla seakan-akan sangat
memahami perasaan sahabatnya itu. Tapi ekspresi dan perkataan Kinan
ingin membuat Chilla mengusirnya dari kamari Cilla sekarang juga.
"Dasar. Ekspresi lo itu yah. Kalo gue ga inget lo itu sohib gue, pasti udah gue usir sekarang trus gue biarin tidur di luar."
"Ih,
becanda La. Ambekan sih. Makanya kadang gue seneng ngecengin lo.
Hahaha..." Kinan sama sekali tidak takut pada ancaman Cilla, melainkan
semakin menggodanya.
"Masih juga ya. Kelakuan, kelakuan." Cilla menggeleng-gelengkan kepala dan terdiam.
Kinan yang menatapnya terdiam kini merebahkan tubuh pada tempat tidur yang telah disediakan Cilla untuknya.
"Kalo
menurut gue ya, coba usaha pelan-pelan La. Mungkin selama ini lo selalu
berpikir dan berpikir. Nah, sekarang stop dulu berpikirnya, tapi
langsung lakuin. Lagipula, lo udah tau apa yang harusnya lo lakuin
khan." kini Kinan menanggapi Cilla dengan serius.
"Hmmm... Gue hanya ga habis pikir, musti ngomong positif gimana kalo gue aja ga ngerasa diri gue positf."
"La,
lo tuh harusnya sayang sama diri lo sendiri. Sebenernya tanpa sadar, lo
juga udah ngebandingin diri lo sama orang lain. Lo paling ga suka
digituin sama ortu lo. Tapi lo sendiri ngelakuinnya. Kalo dibandingin
sama orang lain mah, pasti kita ga akan ngeliat ada yang bagus di diri
kita. Lo harus mulai inget-inget, bikin list kalo perlu, apa aja sisi
positif yang ada di dalam diri lo. Ucapin aja itu terus"
"Ya
ampun, rasanya gue mau nangis denger kata-kata lo. Lo bijak banget sih
kalo lagi bener. Kalo lagi error sih nyebelin. Thanks ya Nan... Nan?
Nan?"
Yang diajak bicara sudah tertidur lelap. Saatnya juga memejamkan mata, ujar Cilla kepada dirinya sendiri.
***
"La, kayaknya slide yang lo bikin jadi bagus sekarang." Fina merangkul Cilla dari belakang.
"Oh ya? Hahaha.. Thanks ya Fin. Khan belajar dari lo juga."
"Iya, sekarang udah lebih oke. Tetep semangat La. Pasti kerjaan yang lainnya juga bisa makin oke."
"Yup, gue terus usaha."
"Oi, oi.. Modul gue udah kelar belum La?"
"Oh.. Hahaha... Udah sih, tapi gue lupa bawa. Ingetin gue ya, Darren."
"Sip lah. Ga apa-apa sih kalo lo masih mau baca. Pinjem aja dulu. Gimana, bagus khan modulnya."
"Modul apa sih?" Fina mulai bertanya, serasa roaming.
"Hahaha.. Darren kemarin ikut seminar, trus bagus gitu temanya, makanya gue pinjem modulnya."
"Oh, sudah ah saya kembali ke tempat duduk. Bingung kalian ngomong apa."
"Hahaha.. Nanti gue ke tempat lo ya Fin, bagi cemilan. Laper nih." ujar Darren sebelum Fina menghilang dari pandangan.
"Oh iya, ada pesen penting di modul itu sebenernya."
"Yaitu?"
"Yaitu
kita harus mencintai diri kita. Menerima diri kita apa adanya. Itu
point pentingnya. Yah itu bisa ngefek ke mana-mana. Kalo kita ga
mencintai diri kita, orang lain akan ngerasain hal yang sama. Biasanya
kita akan berasa kekurangan, karena kita jadi ga ngerawat diri kita dan
membiarkan diri kita merana. Makanya kadang orang suka bilang "Me Time".
Itu penting sebenernya buat ngejaga supaya balance antara memberi dan
menerima."
Cilla tertegun mendengar penjelasan Darren.
"Antara memberi dan menerima?"
"Iya,
istilahnya kalo kayak lo kerja, ngobrol sama orang lain, dan aktivitas
lainnya, yah, yang pastinya diri lo tahu, itu adalah memberi. Sedangkan
kalo dengerin musik, bersantai, dan lain-lain tuh kategorinya menerima.
Kalo lo memberi terus, sampai suatu titik semuanya kayak energi, ruang
pikiran, uang, dan lainnya bisa habis. Pada akhirnya kita akan
kekurangan kalo semuanya habis dan kita ga menerima. Makanya itu harus
balance. Karena kalo kita kekurangan pasti akan ngaruh ke pandangan diri
kita sendiri atau malah bikin kita ga berkembang."
Cilla
semakin tertegun. Benar, ia merasa menemukan jawaban atas setiap
pertanyaannya. Kuncinya adalah pada penerimaan akan diri sendiri. Kalo
aku tidak mencintai diriku sendiri, gimana mungkin orang lain
mencintaiku? Terlebih lagi, kalo aku tidak mencintai diriku sendiri,
pasti apa yang kulakukan hanya akan merusak diriku seperti yang kualami
sekarang. Secara perlahan, aku telah membunuh karakterku.
Untunglah
pertolongan itu tidak pernah datang terlambat dan selalu tepat waktu
sehingga aku bisa menyadari semuanya. Chilla tersenyum menatap Darren.
"Thank yach Darren. You are amazing."
"Hahaha.. Bayar..." Darren segera berlalu sebelum Cilla sempat menimpali dengan keluhan.
"Darrrreeeeennnn, awas ya."